Selasa, 17 Juni 2014

Perlindungan Konsumen


PERLINDUNGAN KONSUMEN

Pengertian Konsumen 
Pengertian konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Sedangkan dalam bagian penjelasan disebutkan “Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir”.
Dari ketentuan dalam undang-undang tersebut secara tersurat nampaknya hanya menitik beratkan pada pengertian konsumen sebagai konsumen akhir yang mana hal tersebut bukan merupakan objek pembahasan dalam tulisan ini. Namun secara tersirat juga mengandung pengertian konsumen dalam arti luas. Hal tersebut nampak pada penggunakan kata “pemakai”. Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan konsumen untuk mendukung pengertian konsumen akhir, namun sekaligus juga menunjukkan bahwa barang dan/jasaa yang dipakai tidak serta merta hasil dari suatu transaksi jual beli. Artinya sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/jasa tersebut. Dengan kata lain dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual ((the privity of contract).


·         Konsumsi,dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali (Jawa: kulakan), maka dia disebut pengecer atau distributor. Pada masa sekarang ini bukan suatu rahasia lagi bahwa sebenarnya konsumen adalah raja sebenarnya, oleh karena itu produsen yang memiliki prinsip holistic marketing sudah seharusnya memperhatikan semua yang menjadi hak-hak konsumen
·         Konsumtif
Kata “konsumtif” (sebagai kata sifat; lihat akhiran –if) sering diartikan sama dengan kata “konsumerisme”. Padahal kata yang terakhir ini mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan konsumen. Sedangkan konsumtif lebih khusus menjelaskan keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal.
·         Konsumerisme
Konsumerisme adalah suatu gerakan sosial yang dilakukan oleh berbagai pihak yang bertujuan untuk meningkatkan posisi konsumen dalam berinteraksi dengan pihak penjual, baik sebelum, pada saat, dan setelah konsumsi dilakukan.
Berikut ini adalah pengertian konsumen menurut para ahli :
WIRA SUTEJA
Konsumen adalah orang paling penting yang datang ke kantor kita, maupun lewat surat
Konsumen adalah orang yang memberitahukan kepada kita tentang keinginannya, dan adalah tugas kita untuk menangani kehendaknya dengan jalan menguntungkan kedua belah pihak
Konsumen adalah orang yang menciptakan pandangan tentang perusahaan kita, tentang baik atau buruk pelayanan kita.Konsumen adalah penyampai berita terbaik apabila mereka puas dengan apa yang kita berikan
TRI KUNAWANGSIH & ANTO PRACOYO
Konsumen adalah mereka yang memiliki daya beli, yakni berupa pendapatan dan melakukan permintaan terhadap barang dan jasa
ARYA MAHEKA
Konsumen ialah pemakai barang atau jasa, pengguna akhir dari suatu produk



DJOKO SANTOSO MOELJONO
Konsumen adalah seseorang yang secara terus menerus dan berulang kali datang ke suatu tempat yang sama, untuk memuaskan keinginannya dengan memiliki suatu produk, atau mendapatkan suatu jasa, dan membayar produk atau jasa tersebut
Sedangkan,Pengertian Konsumen Menurut UU Perlindungan Konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga bagian, terdiri atas:
·         Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.
·         Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang /jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha; dan
·         Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
Konsumen (akhir) inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut. Selanjutnya apabila digunakan istilah konsumen dalam UU dan makalah ini, yang dimaksudkan adalah konsumen akhir. Undang-undang ini mendefinisikan konsumen (pasal 1 angka 2) sebagai berikut:
Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Orang yang dimaksudkan dalam undang-undang ini wajiblah merupakan orang alami dan bukan badan hukum. Sebab yang dapat memakai, menggunakan dan/atau memanfaatkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan, hanyalah orang alami atau manusia. Bandingkan dengan kerajaan Belanda yang juga memberikan pengertian pada istilah bersamaan (konsument). Pengertian konsumen dalam perundang-undangan Belanda menegaskannya sebagai “een natuurlijk persoon die niet handelt in de uitoefening van zijn beroep of bedriif” (orang alami yang bertindak tidak dalam profesi atau usahanya).
Termasuk pengertian konsumen pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat ini antara lain adalah: pembeli barang/jasa, termasuk keluarga dan tamu-tamunya, peminjam, penukar, pelanggan atau nasabah, pasien dsb. (perhatikan beda pengetian istilah-istilah ini dalam UU perlindungan konsumen dengan dalam KUHPerdata, KUHPidana., UU No. 5 Tahun 1999 dan peraturan perundang-undangan lain yang bersifat umum).

Ada dua cara untuk memperoleh barang, yakni:
·         Membeli. Bagi orang yang memperoleh suatu barang dengan cara membeli, tentu ia terlibat dengan suatu perjanjian dengan pelaku usaha, dan konsumen memperoleh perlindungan hukum melalui perjanjian tersebut.
·         Cara lain selain membeli, yakni hadiah, hibah dan warisan. Untuk cara yang kedua ini, konsumen tidak terlibat dalam suatu hubungan kontraktual dengan pelaku usaha. Sehingga konsumen tidak mendapatkan perlindungan hukum dari suatu perjanjian. Untuk itu diperlukan perlindungan dari negara dalam bentuk peraturan yang melindungi keberadaan konsumen, dalam hal ini UU Perlindungan Konsumen.

Syarat-syarat Konsumen Menurut UU Perlindungan Konsumen adalah: 
·         Pemakai barang dan/atau jasa, baik memperolehnya melalui pembelian maupun secara cuma-cuma
·         Pemakaian barang dan/atau jasa untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain.
·         Tidak untuk diperdagangkan

Asas perlindungan konsumen
asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:
·         Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya. Mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
·         Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang. Partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil,
·         Asas keseimbangan    
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi. Memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,
·         Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
·         Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Menurut Pasal 3 UUPK perlindungan konsumen bertujuan :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Manfaat Perlindungan Konsumen adalah :
a. Balancing Position
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Dengan diterapkan perlindungan konsumen di Indonesia diharapkan kedudukan konsumen yang tadinya cenderung menjadi sasaran pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya menjadi subyek yang sejajar dengan pelaku usaha. Dengan posisi konsumen yang demikian maka akan tercipta kondisi pasar yang sehat dan saling menguntungkan bagi konsumen karena dapat menikmati produk-produk yang berkualitas dan bagi produsen karena tetap mendapatkan kepercayaan pasar yang tentunya akan mendukung kelangsungan usahanya di masa mendatang.
b. Memberdayakan Konsumen
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya yang masih rendah, sehingga perlu adanya upaya pemberdayaan. Proses pemberdayaan harus dilakukan secara integral baik melibatkan peran aktif dari pemerintah, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat maupun dari kemampuanmasyarakat sebagai konsumen untuk lebih mengetahui hak-haknya. Jika kesadaran konsumen akan hak-haknya semakin baik maka konsumen dapat ditempatkan pada posisi yang sejajar yaitu sebagai pasangan yang saling membutuhkan dan menguntungkan.
c. Meningkatkan Profesionalisme Pelaku Usaha
Perkembangan dunia industrialisasi dan kesadaran konsumen yang semakin baik menuntut pelaku usaha untuk lebih baik dalam menjalankan usahanya secara profesional. Hal itu harus dijalankan dalam keseluruhan proses produksi. Pelaku usaha juga harus mengubah orientasi usahanya yang selama ini cenderung untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek dengan memperdaya konsumen sehingga dalam jangka panjang hal tersebut akan mematikan usahanya. Selain itu pelaku usaha dalam menjalankan usahanya harus memperhatikan kejujuran, keadilan serta etika dalam menjalankan usahanya. Semua itu dilakukan agar pelaku usaha dapat tetap eksis dalam menjalankan usahanya.
Hak dan Kewajiban Konsumen
Menurut Janus Sidabalok dalam bukunya “Hukum Perlindungan Konsumen diIndonesia” menyebutkan bahwa ada tiga macam hak berdasarkan sumber pemenuhannya, yakni:
·         Hak manusia karena kodratnya, yakni hak yang kita peroleh begitu kita lahir, seperti hak untuk hidup dan hak untuk bernapas. Hak ini tidak boleh diganggu gugat oleh negara, dan bahkan negara wajib menjamin pemenuhannya.
·         Hak yang lahir dari hukum, Yaitu hak yang diberikan oleh negara kepada warga negaranya. Hak ini juga disebut sebagai hak hukum. Contohnya hak untuk memberi suara dalam Pemilu.
·         Hak yang lahir dari hubungan kontraktual. Hak ini didasarkan pada perjanjian/kontrak antara orang yang satu dengan orang yang lain. Contohnya pada peristiwa jual beli. Hak pembeli adalah menerimabarang. Sedangkan hak penjual adalah menerima uang.
Adapun hak konsumen diatur didalam Pasal 4 UU PK, yakni:
·         Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Tujuan utama konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa adalah memperoleh manfaat dari barang/jasa yang dikonsumsinya tersebut.
·         Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
·         Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Sebelum memilih, konsumen tentu harus memperoleh informasi yang benar mengenai barang/jasa yang akan dikonsumsinya. Karena informasi inilah yang akan menjadi landasan bagi konsumen dalam memilih. Untuk itu sangat diharapkan agar pelaku usaha memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai barang/jasanya.
·         Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Tidak jarang konsumen memperoleh kerugian dalam mengkonsumsi suatu barang/jasa.
·         Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Pelaku usaha tentu sangat memahami mengenai barang/jasanya
·         Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. Sudah disebutkan sebelumnya bahwa posisi konsumen lebih lemah dibanding posisi pelaku usaha.
·         Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Sudah merupakan hak asasi manusia untuk diperlakukan sama. Pelaku usaha harus memberikan pelayanan yang sama kepada semua konsumennya, tanpa memandang perbedaan idiologi, agama, suku, kekayaan, maupun status sosial.
·         Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Inilah inti dari hukum perlindungan konsumen.
·         Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. Hak konsumen sebenarnya sangat banyak dan bisa terus bertambah. Adanya ketentuan ini membuka peluang bagi pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak konsumen yang tidak diatur pada ketentuan diatas.
Adapun Kewajiban konsumen menurut Pasal 5 Undang-undang perlindungan konsumen adalah:
·         Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanandan keselamatan. pemakaian yang telah disediakan oleh pelaku usaha.
·         Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa Tak jarang pula konsumen tidak beritikad baik dalam bertransaksi atau mengkonsumsi barang. Hal ini tentu saja akan merugikan khalayak umum, dan secara tidak langsung si konsumen telah merampas hak-hak orang lain.
·         Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Ketentuan ini sudah jelas, ada uang, ada barang.
·         Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, patut diartikan sebagai tidak berat sebelah dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Hak dan Kewajiban Pelaku usaha

Hak pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, adalah :
·         hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
·         hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
·         hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
·         hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
·         hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 adalah:
·         beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
·         memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
·         memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
·         menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
·         memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
·         memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
·         memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:

·         larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
·         larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
·         larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Pembahasan yang pertama ialah larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi. Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
·         tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
·         tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
·         tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
·         tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
·         tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
·         tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktupenggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
·         tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
·         tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
·         tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
Selanjutnya mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran. Ketentuan ini diatur di Pasal 9 – 16. Pada Pasal 9 pelaku usaha dilarang :
·         menawarkan,mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
·         barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
·         barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
·         barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
·         barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
·         barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
·         barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
·         secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
·         menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung
·         risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
·         menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Lalu pada ayat (2) dan (3) ditentukan bahwa:
(2)  Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.
(3)  Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Kemudian pada Pasal 10 ditentukan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

·         harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
·         kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
·         kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
·         tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
·         bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Ancaman Pidana Bagi Pelaku Usaha yang Membuat Iklan Menyesatkan
Menurut Pasal 4 huruf h UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen(“UUPK”),konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Juga sudah menjadi kewajiban pelaku usaha untuk memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian (Pasal 7 huruf g UUPK).
 Selanjutnya, disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f UUPK bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
 Hal senada diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UUPK bahwapelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar. Lebih jauh, dalam menawarkan barang dan/atau jasa ini, pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai(Pasal 10 UUPK):
·         harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
·         kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
·         kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
·         tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
·         bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Jika pelaku usaha melanggar ketentuan-ketentuan tersebut di atas, ada ancaman pidana yang dapat dikenakan yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) (Pasal 62 ayat [1] UUPK).
Pada dasarnya, yang dipidana jika terbukti melanggar ketentuan-ketentuan tersebut di atas adalah pelaku usaha. Memang dimungkinkan dalam praktik, pelaku usaha menggunakan jasa orang lain untuk menyebarkan brosur. Jika pelaku usaha kemudian menggunakan jasa orang lain untuk menyebarkan brosur tersebut, tetap pelaku usahalah yang harus bertanggung jawab sebagai pihak yang memperdagangkan barang dan/atau jasa dan mengiklankannya secara tidak benar.
Jadi, jika seorang pelaku usaha mengiklankan produknya (barang/jasa) secara tidak benar yang kemudian menimbulkan kerugian bagi konsumen karena barang dan/atau jasanya tidak sesuai dengan yang diiklankan, perbuatan tersebut termasuk tindak pidana dan dapat dipidana berdasarkanPasal 62 ayat (1) UUPK.

Bentuk-Bentuk Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Bentuk-bentuk tanggung jawab pelaku usaha dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun1999 tentang Perlindungan Konsumen, antara lain :
·         Contractual liability,
yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usahaatas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasayang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang diberikannya. tanggung jawabnya adalah melalui contractual
·         Product liability,
yaitu tanggung jawab perdata terhadap produk secara langsung dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat menggunakan produk yang dihasilkan.Pertanggungjawaban produk tersebut didasarkan pada Perbuatan Melawan Hukum(tortius liability).
·         Professional liability,
Dalam hal terdapat perjanjian (privity contract ) antara pelaku usaha dengankonsumen, dimana prestasi pelaku usaha dalam hal ini sebagai pemberi jasa tidak terukur sehingga merupakan perjanjian ikhtiar yang didasarkan pada iktikad baik,tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada pertanggungjawaban profesional inimenggunakan tanggung jawab langsung (strict liability) dari pelaku usaha ataskerugian yang dialami konsumen akibat memanfaatkan atau menggunakan jasa yangdiberikanya. Sebaliknya ketika hubungan perjanjian ( privity of contract ) tersebutmerupakan prestasi yang terukur sehingga merupakan hasil perjanjian,tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada pertanggungjawaban profesional yang menggunakan tanggung jawab perdata atas perjanjian/kontrak (contractual liability)dari pelaku usaha sebagai pengelola program investasi apabila timbul kerugian yangdialami konsumen sebagai akibat memanfaatkan atau menggunakan jasa yangdiberikan.
·         Criminal liability,
yaitu pertanggungjawaban pidana dari pelaku usaha sebagai hubungan antara pelakuusaha dengan negara. Dalam hal pembuktian, yang dipakai adalah pembuktian terbalik seperti yang diatur dalam Pasal 22 Undang- Undang PerlindunganKonsumen, yang menyatakan bahwa pembuktian terhadap ada atau tidaknya unsurkesalahan dalam kasus pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu kerusakan, pencemaran dan/atau kerugianyang dialami konsumen merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha, tanpamenutup kemungkinan dalam melakukan pembuktian.

Sanksi pelaku usaha
Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.

Klausula baku yang dilarang menurut undang-undang
Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengadung unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut :
·         Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;
·         Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
·      Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
·        Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;
·    Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;
·      Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi hartakekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
·      Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
·         Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

Contoh Kasus :
Detik.com
Jakarta - Gara-gara uang muka Rp 40 juta ditilep sales stand pameran mobil KIA, konsumen pun merasa dikecewakan. Atas hal itu, konsumen pun menggugat KIA dan dikabulkan.

Dalam salinan keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Provinsi DKI Jakarta yang didapat detikcom, Kamis (12/6/2014), kasus ini bermula ketika Yofither Lumban Tobing, sedang melihat pameran mobil KIA pada Juli 2012 di Mall Lipo Cikarang, Jawa Barat. Dia lalu kepincut dengan mobil KIA Rio.

Sebagai konsumen yang baik, Yofither membayar uang Dwon Payment (DP) sebesar Rp 3 juta di lokasi pameran kepada salesman mobil KIA, Budi Eka Permana. Pada pertemuan kedua, Yofither kembali menyerahkan uang DP sebesar Rp 37 juta kepada sales yang sama.

Setelah menunggu berbulan-bulan ternyata mobil idaman Yofither tak kunjung datang. Alih-alih berharap mendapat kepastian, Yofither malah mendapat surat penolakan dari KIA pada September 2012. Surat itu menyatakan Yofither tidak bisa membeli mobil tersebut karena ada masalah.

Sang sales berjanji akan mengembalikan Rp 40 juta milik Yofither pada akhir September 2012. Tapi apa daya uang tersebut tak kunjung datang. Yofither pun mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan ke BPSK pada Juni 2013. Dia menggugat PT KIA Mobil Indonesia dan PT KIA Mobil Indonesia Cabang Bekasi masing-masing sebagai Tergugat I dan Tergugat II. Gugatan itu dilayangkan karena menurut Yofither uang yang hilang Rp 40 juta itu merupakan tanggung jawab dealer.

Yofither pun mendapat angin segar pada 13 Mei 2014. BPSK memutuskan PT KIA Mobil Indonesia dan PT KIA Mobil Indonesia Cabang Bekasi bersalah dan turut bertanggung jawab atas hilangnya uang Rp 40 juta milik Yofither.

"Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk mengembalikan uang muka mobil sebesar Rp 40 juta," putus majelis BPSK.

Putusan itu diketok oleh Parulian Tambunan sebagai ketua majelis serta dibantu Aman Sinaga dan Edison B Sianipar selaku anggota majelis.


Catatan : Bagi teman-teman yang ingin meng-copy paste tulisan diatas,silahkan mencantumkan sumber yang tertera di bawah ini,terima kasih.

Sumber : 
Wikipedia Bahasa Indonesia : Pengertian Konsumen
www.wibowotunardy.com : Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
yanhasiholan.wordpress.com : Perlindungan Konsumen
repository.usu.ac.id : Tinjauan tentang Perlindungan Konsumen (Universitas Sumatera Utara)
www.wibowotunardy.com :  Hak dan Kewajiban Konsumen bag 1 & 2
www.ylki.or.id : Hak dan Kewajiban Konsumen
soemali.dosen.narotama.ac.id : Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
www.wibowotunardy.com : Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha
www.hukumonline.com : Ancaman Pidana bagi Pelaku Usaha yang Membuat Iklan Menyesatkan
id.scribd.com : Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Usaha dalam Hukum Perlindungan Konsumen(Makalah Universitas Pelita Harapan Surabaya)
www.kantorhukum-lhs.com : Sanksi Pidana Undang-undang Perlindungan Konsumen
news.detik.com : Uang Ditilep Sales Pameran,KIA Mobil Dihukum Kembalikan DP Calon Pembeli

Share:

2 komentar: