Asas
Konsensualisme
Konsensualisme berasal
dari perkataan consensus yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan
dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu
persesuaian kehendak artinya apa yang dihendaki oleh yang satu adalah pula yang
dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu belum dalam sepakat tersebut.
Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan
perkataan-perkataan misalnya setuju, oke, dan sebagainnya dengan bersama-sama
menaruh tanda tangan dibawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda bukti
bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan
itu.
sebagaimana diketahui
hukum perjanjian dari B.W. menganut asas konsensualisme artinya ialah:
hukum perjanjian dari B.W. itu menganut suatu asas bahwa melahirkan suatu
perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan
pada saat atau detik tercapainya consensus sebagaimana dimaksudkan diatas. Pada
detik tersebut perjanjian sudah terjadi dan mengikat kedua belah pihak. Dari
mana kita dapat ketahui atau kita simpulkan bahwa hukum perjanjian dalam
B.W. menganut asas konsensualisme itu? Asas tersebut dapat kita simpulkan
dari pasal 1320, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian dan tidak dari pasal 1338 (1) seperti diajarkan oleh beberapa
penulis. Bukankah oleh pasal 1338 (1) yang berbunyi: semua perjanjian dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya itu
dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang
sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada semua
perjanjian yang dibuat secara sah itu? Jawaban diberikan oleh pasal1320 yang
menyebutkan satu persatu syarat-syarat untuk perjanjian yang sah itu.
Syarat-syarat itu adalah:
1)
Sepakat
2)
Kecakapan
3)
Hal tertentu
4)
Cuaca yang halal
Dengan hanya disebutkan
sepakat saja tanpa dituntutnyasesuatu bentuk dan cara apapun, sepertinya
tulisan, pemberiantanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat kita simpulkan
bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu
atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.
Sudah jelaslah bahwa
kiranya asas konsensualisme itu harus kita simpulkan dari pasal 1320 dan
bukunya dari pasal 1338 (1). Dari pasal yang terakhir ini lazimnya disimpulkan
suatu asas lain dari hukum dari perjanjian B.W. yaitu adanya atau dianutnya
system terbuka atau asas kebebasan berkontrak. Adanya cara menyimpulkannya
ialah dengan jalan menekankan pada perkataan perjanjian. Dikatakan bahwa pasal
13 berdasarkan perjanjian sewa belinya itu, tetapi hanya akan merundingkan
dengan pedagang itu. Menurut pasal 56 undang-undang kredit konsumen, dalam
keadaan demikian ini pedagang itu diperlakukan sebagai agen dari kreditur,
sehingga yang terakhir ini bertanggung jawab untuk perbuatan curang atau
pernyataan-pernyataan oleh pedagang, dan jika langganan memberitahukan kepada
pedagang itu tujuan barang yang diperlukannya, ini mengikat kreditur. Lagi pula
pasal 75 dengan teeedelijke eis.
Dikatakan bahwa itu
merupaka suatu puncak peningkatan martabat manusia yang tersimpul didalam
pepatah een man een man, een word een word. Yang dimaksudkan adalah bahwa
dengan diletakkannya kepercayaan pada perkataan orang, si orang ini
ditingkatkan martabatnya setinggi-tingginya sebagai manusia. Memanglah benar
apa yang dikatakan oleh Prof.Eggens itu, bahwa ketentuan bahwa orang harus
dipegang perkataannya itu adalah suatu tuntutan kesusilaan, memang benar kalau
orang ingin dihargaisebagai manusia ia harus dapat dipegang perkataannya atau
ucapannya, namun bagi hukum yang ingin menyelenggarakan ketertiban dan
menegakkan keadilan dalam masyarakat, asas konsensualisme itu merupakan suatu
tuntutan kepastian hukum. Bahwa orang yang hidup dalam masyarakat yang teratur
harus dapat dipegang perkataan dan ucapannnya itu merupakan suatu tuntutan
kepastian hukum yang merupakan satusendi yang mutlakdari suatu tata hukum yang baik.
Pasal 1338 (1) menyakatan bahwa perjanjian mengikat sebagai undang-undang tidak
memberikan kriterium untuk apa yang dinamakannya perjanjian itu. Apakah
perjanjian itu sudah cukup apabila sudah dicapai sepakat atau masih diperlukan
syarat-syarat lain? Jawaban yang diberikan oleh pasal 1320: cukup apabila sudah
tercapai sepakat. Inilah yang kita namakan konsensualisme.
Dengan demikian yang
akan menjadi alat pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut
adalah pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak.
Undang-undang berpangkal pada asas konsensualisme, namun untuk menilai apakah
telah tercapai consensus dan ini adalah maha penting karena merupakan saat
lahirnya perjanjian yang mengikat laksana suatu undang-undang, kita terpaksa
berpijak pada pernyataan-pernyataan yang telah dialkukan oleh kedua belah
pihak. Dan ini pula merupakan suatu tuntutan kepastian hukum. Bukankah dari
ketentuan bahwa kita harus berpijak pada yang telah dinyatakan itu timbul
perasaan aman pada setiap orang yang telah membuat suatu perjanjian bahwa ia
tidak mungkin dituntut memenuhi kehendak pihak lawan yang tidak pernah
dinyatakan kepadanya. Dan apabila timbul perselisihan tentang pakah terdapat
consensus atau tidak yang berarti apakah telah dilahirkan suatu perjanjian atau
tidak maka hakim atau pengadilanlah yang akan menetapkannya.
Zaman dimana untuk
terjadinya suatu perjanjian sungguh-sungguh dituntut suatu perjumpaan kehendak
sudah lampau. Setelah melewati pengalaman-pengalaman yang pahit (seperti dalam
kasus terkenal antara weiler dan oenheim yang terjadi dimuka pengadilan
dijeman), sekarang sudah dirasakan bahwa berpegang teguh pada tuntutan tersebut
akan menjurus kearah ketidak pastian hukum, padahal diambilnya asas
konsensualisme adalah justru untuk memenuhi tuntutan kepastian hukum. Tuntutan
akan adanya sungguh-sungguh suatu perjumpaan kehendak, memang tidak dapat
dipertahankan lagi dalam zaman modern sekarang ini diminta transaksi-transaksi
yang besar lazimnya diadakan tanpa hadirnya para pihak berhadapan muka, tetapi
lewat perantara-perantara.
Asas konsensualisme
yang terkandung dalam pasal 1320 B.W. (kalau dihendaki : pasal 1320 dihubungkan
dengan pasal 1338 ayat 1), tampak jelas pula dari perumusan-perumusan berbagai
macam perjanjian. Kalau kita ambil perjanjian utama, yaitu jual beli, maka
konsensualisme itu menonjol sekali dari perumusannya dalam pasal 1458 B.W. yang
berbunyi:’’jual beli itu dianggap telah terjadi antara dua belah pihak,
seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang barang tersebut
dan harganya, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harga belum dibayar.
Sistem
Terbuka dan Asas Konsensualisme dalam Hukum Perjanjian
Hukum benda mempunyai
sistem tertutup, sedangkan Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya
macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang
mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan Hukum Perjanjian
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan
perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar Undang-Undang ,
ketertiban umum dan kesusilaan.
Pasal-pasal dari Hukum
Perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional law), yang
berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh
pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat
ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal Hukum Perjanjian
dan diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam
perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Apabila pihak-pihak yang membuat
perjanjian itu tidak mengatur sendiri sesuatu soal, maka berarti mengenai soal
tersebut akan tunduk kepada Undang-undang. Karena itu hukum perjanjian disebut
hukum pelengkap, karena fungsinya melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat
secara tidak lengkap.
Sistem terbuka, yang
mengandung asas kebebasan membuat perjanjian, dalam KUHPer lazimnya disimpulkan
dalam pasal 1338 ayat (1), yang berbunyi demikian:“Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Penekanan pada perkataan semua menyatakan bahwa masyarakat diperbolehkan
membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan
perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu UU.
Dalam hukum perjanjian
berlaku asas konsensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan
latin consensus yang berarti sepakat.
Arti asas
konsensualisme adalah :
Pada dasarnya
perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik
tercapainya kesepakatan. Perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat
mengenai hal-hal yang pokok walaupun belum ada perjanjian tertulisnya sebagai
sesuatu formalitas.
Asas konsensualisme
tersebut lazimnya disimpulkan dari pasal 1320 KUHPer, yang berbunyi :
Untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat:
·
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
·
Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian;
·
Suatu hal tertentu;
·
Suatu sebab yang halal”
Karena suatu perjanjian
lahir pada detik tercapainya kesepakatan,maka perjanjian itu lahir pada detik
diterimanya suatu penawaran (offerte). Menurut ajaran yang lazim dianut
sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan
penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat
tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya
kesepakatan. Karena perjanjian sudah lahir maka tak dapat lagi ia ditarik
kembali jika tidak seizin pihak lawan.
Pengecualian terhadap
asas konsensualisme yaitu :
·
Penetapan formalitas-formalitas tertentu
untuk beberapa macam perjanjian, atas ancaman batalnya perjanjian tersebut
apabila tidak menuruti bentuk cara yang dimaksud, misalnya:
·
Perjanjian penghibahan, jika mengenai
benda tak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris.
·
Perjanjian perdamaian harus dilakukan
secara tertulis, dan lain sebagainya. Perjanjian yang memerlukan formalitas
tertentu dinamakan perjanjian formil.
Referensi :
www.legalakses.com : Asas-asas perjanjian
www.blogprinsip.blogspot.com : Sistem terbuka dan asas konsesualisme dalam hukum perjanjian
www.blogprinsip.blogspot.com : Sistem terbuka dan asas konsesualisme dalam hukum perjanjian
0 komentar:
Posting Komentar